Peninggalan Baginda Nabi Besar Muhammad SAW

Banyak pelajaran yang kita bisa serap dari beberapa peninggalan Rasulullah SAW, Semoga kita makin cinta kepada Rasulullah SAW.

Seklumit Nasihat Maulana Jalaluddin Rumi

Semoga dari beberapa nasehat yang disampaikan oleh Maulana Jalaludin Rumi ini dapat membentuk diri kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Ibnu Sina (Bapak Kedokteran Dunia)

Beliaulah yang menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap dan untuk pertama kalinya.

Abbas Ibnu Firnas

Beliaulah orang pertama dalam sejarah yang melakukan pendekatan sains dalam mempelajari proses terbang.

Jabir Ibnu Hayyan

Beliaulah yang pertama kali menemukan asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam asetat, tehnik distilasi dan tehnik kristalisasi.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Syaikh Hasyim Asy'ari




Beliau dilahirkan pada hari Selasa, 24 Dzulqa'idah 1287 H, bertepatan dengan 14 Februari 1871 M di lingkungan pesantren Kiai Ustman, Desa Nggedang, sebelah utara Jombang, dan wafat pada 25 Juli 1947.

Hasyim kecil lebih banyak mendapat pendidikan langsung dari orangtuanya, KH. Asy'ari. Silsilah keturunan beliau berasal dari Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng (kakek kesembilan). Salah seorang putra Lembu Peteng bernama Jaka Tingkir, yang juga disebut Kerebet.

Setelah berusia 14 tahun, Hasyim kecil mulai berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Mula-mula menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi melanjutkan ke Pesantren Treggilis, Semarang. Pada tahun 1891 belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, yang diasuh KH. Ya'qub, seorang tokoh yang dikenal berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.

Selama belajar di Pesantren Siwalan, tampaknya tindak-tanduk pemuda Hasyim selalu diperhatikan, hingga santri yang sangat potensial ini pada 1892 M, beliau yang waktu itu berusia 21 tahun dijadikan menantu oleh Kiai Ya'qub, dijodohkan dengan Chodijah.

Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dan bermukim di sana. Sesudah tujuh bulan berada di Kota Suci, istrinya melahirkan putra pertama dan diberi nama Abdullah. Tidak berapa lama, istri yang sangat dicintai itu wafat di Makkah.

Belum genap 40 hari sepeninggal istrinya, Abdullah, putranya yang masih bayi menyusul ibunya, dipanggil Allah SWT. Kemudian pada tahun berikutnya, beliau kembali ke Indonesia.

Pada 1893, Kiai Hasyim berangkat lagi ke Makkah bersama Anis, adik kandungnya. Selama di sana, beliau berguru kepada Syaikh Machfudz at-Tarmasy, putra Kiai Abdullah, pemimpin Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Di kalangan kiai di Jawa, Syaikh Machfudz dikenal sebagai seorang yang sangat ahli dalam ilmu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari. Dari Kiai Machfudz, akhirnya Kiai Hasyim mendapat ijazah untuk mengajar Shahih al-Bukhari.

Guru lainnya, adalah Syaikh Ahmad Chatib Minangkabau, seorang sufi, yang mempunyai banyak murid, di antaranya KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. M. Bisri Syansuri, KH. Ahmad Dahlan, tokoh Muhammadiyah, dan Syaikh Muhammad Nur Mufti dari Kerajaan Langkat.

Karenanya, Kiai Hasyim dikenal sebagai 'ulama pesantren yang mempunyai spesialisasi dalam ilmu hadits. Karena kealimannya dalam ilmu hadits ini, banyak murid berdatangan dari berbagai pelosok daerah, terutama pada bulan Ramadlan. Bahkan dari tokoh 'ulama yang datang mengaji, terdapat seorang tokoh kiai yang menjadi gurunya, yakni KH. Muhammad Kholil Bangkalan, yang akrab dikenal dengan Mbah Kholil.

Selama remaja Kiai Hasyim memang pernah berguru kepada Mbah Kholil Bangkalan, yang dikenal alim dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab).

Saat Kiai Hasyim mendirikan NU, dialog simbolik antara guru dan murid itu terjadi secara intensif. Diceritakan, suatu ketika KH. As'ad Syamsul Arifin, salah seorang santri Mbah Kholil diutus ke Tebuireng, Jombang membawa sebatang tongkat dan tasbih, yang diberikan Mbah Kholil kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Tongkat itu isyarat kepemimpinan, sedang tasbih berarti ibadah kepada Allah.

Sejak itulah, Kiai Hasyim langsung menyetujui berdirinya Nahdlatul 'Ulama pada tahun 1926. Padahal, sebelumnya berkali-kali KH. Abdul Wahab Chasbullah mendesak Kiai Hasyim agar segera merestui berdirinya NU. Tapi, Kiai Hasyim tidak segera menjawab, melainkan menunggu petunjuk dari Allah (melalui shalat istikharah).

Kedatangan pemuda As'ad Syamsul Arifin dengan oleh-olehnya itulah yang ditunggu-tunggu KH. Hasyim Asy'ari.

Jumat, 05 Agustus 2011

SEJARAH HIDUP AL-ASY'ARI

Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari.Datuknya, Abu Musa Al-Asy’ari merupakan salah satu shahabat terkemuka. Menurut beberapa riwayat, Abul Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H / 935 M.

Menurut ibnu Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan merupakan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada shahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari.

Sepeninggal Isma’il bin Ishaq, ibunda Ali bin Isma’il menikah dengan Al-Jubba’i, seorang Mu’tazilah terkemuka, ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i. Al-Jubba’i mendidik Ali bin Isma’il menjadi tokoh Mu’tazilah.

Pada usia 40 tahun, Abul Hasan Al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, beliau diperingatkan Rasulullah agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Konsep Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang berkembang hingga saat ini banyak berpijak kepada konsep yang disusun oleh Imam Al-Asy’ari atau pun Imam Al-Maturidi. Walau ada beberapa perbedaan, namun konsep mereka sangat mirip.

Adapun formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi. Maksudnya, dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat reaktif terhadap Mu’tazilah, suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (tokoh sunni yang wafat pada 854 M).

Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya

Abul Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan Mu’tazilah yang menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat, tetapi Substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.

Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan Mu’tazilah) namun tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara ta’wil (berbeda dengan mujassimah dan musyabbihah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

Akal dan Wahyu

Walaupun Al-Asy’ari dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari aqal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan aqal.

Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada aqal.

Keadilan

Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Namun Al-Asy’ari tidak setuju bahwa Allah harus berbuat adil, sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun terhadap makhluq, karena Dia adalah Penguasa Muthlaq.

Kedudukan Orang Berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu dari keduanya. Jika tidak mu`min, maka ia kafir. Mu`min yang berbuat dosa besar adalah mu`min yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa, kecuali oleh kafir haqiqi.[

Nama lengkap beliau adalah ‘Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Abul Hasan al Asy’ari, lahir tahun 250 H. di Basrah (Iraq).
Inilah Ulama besar dalam Ilmu Usuluddin, perumus dan pembela faham Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu faham Nabi, sahabat-sahabat dan tabi’in yang banyak.
Dalam furu’ syari’at beliau pnganut yang kuat dari Madzhab Syafi’i. Beliau belajar fiqih kepada Abu Ishaq al Marwadzi, demikian dikatakan oleh Ustadz Abu Bakar bin Furak pengarang kitab Tabaqatul Mutakallimin, dan demikian juga dikatakan oleh Ustadz Abu Ishaq al Arfaraini sebagai yang dinukilkan oleh Syeikh Abu Muhammad al Junaidi dalam kitab Syarah Risalah.
Abu Hasan al Asy’ari adalah seorang Ulama Besar, ikutan ratusan juta umat Islam dari dulu sampai sekarang, karena beliau yang menjadi Imam kaum Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai lawan dari kaum Mu’tazilah, kaum Syi’ah, kau’m Mujassimah, dan lain-lain firqah yang sesat.
Walaupun beliau seorang Imam Besar dalam usuluddin, tetapi dalam furu’ syari’at beliau menganut dan mempertahankan Madzhab Syafi’i Rahimahullah.

Sumber: Sejarah dan Keagungan Madzab Syafi’i, karangan KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, 1994.

SEJARAH DAN POKOK AJARAN AL-ASY’ARI

al-Asya'ari, Simbol Imam Aswaja
Dalam suasana Mu’tazilah yang keruh, al-Asy’ari dibesarkan dan dididik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela aliran Mu’tazilah sebaik-baiknya,tetapi kemudian aliran ini ditinggalkannya, bahkan dijadikan sebagai lawan.
Sejarah al-Asy’ari
Namanya Abu al-Hasan Ali ibn Ismailal-Asy’ari, dilahirkan di kota Bashrah Irak pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Ia termasuk keturunan Abu Musa al-Asy’ari, seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah. Pada waktu kecilnya, al-Asy’ari berguru kepada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal, Abu Ali al-Jubbai, untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan memehaminya. Aliran ini dianutnya sampai berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari umurnya digunakan untuk mengarang buku-buku mengenai Mu’tazilah.
Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari. Tatkala selesai, ia pergi ke masjid di Bashrah untuk menyatakan di hadapan khalayak bahwa mula-mula ia memeluk faham aliran Mu’tazilah, antara lain ; al-Quran itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Lalu ia mengatakan : “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan dan kelemahannya.”
Boleh jadi ia telah lama mengadakan peninjauan terhadap aliran Mu’tazilah dan tempo 15 hari itu merupakan puncaknya. Sebab sebelum itu, ia telah banyak melakukan perdebatan dengan gurunya, al-Jubbai, tentang dasar-dasar paham aliran Mu’tazilah dan sering berakhir dengan penyingkapan kelemahan kelompok tersebut.
Diantara perdebatan-perdebatan ialah mengenai soal al-ashlah (keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan) :
al-Asy’ari : Bagaimana pendapat Tuan tentang orang mukmin, orang kafir dan anak kecil (yang mati) ?
al-Jubbai : Orang mukmin mendapat tingkatan yang tertinggi (sorga), orang masuk neraka dan anak kecil tergolong orang selamat.
al-Asy’ari : Jika anak kecil tersebut ingin mencapai tingkatan tertinggi, bisakah dia ?
al-Jubbai: Tidak bisa. Karena akan dikatakan kepada :“Orang mukmin itu mendapat tingkatan tertinggi karena ia menjalankan ketaatan, sedangkan engkau tidak”
al-Asy’ari : Anak kecil akan menjawab :”Itu bukan salah saya. Kalau seandainya Tuhan menghidupkan saya, tentu saya akan mengerjakan ketaatan sebagaimana orang mukmin.”
al-Jubbai : Tuhan berkata :”Aku lebih tahu tentang dirimu. Kalau kau hidup sampai besar, tentu akan mendurhakai Aku dan Aku akan menyiksamu. Jadi, Aku mengambil yang lebih baik bagimu dan engkau Kumatikan sebelum dewasa.“
al-Asy’ari : Kalau orang kafir itu berkata :“Ya Tuhan, Kau tahu keadaanku dan keadaan anak kecil itu. Mengapa terhadapku, Kau tidak mengambil tindakan yang lebih baik ?“
Kemudian al-Jubbai terdiam tidak dapat menjawab.
al-Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah pada tidak ada dua hal yang meletarbelakangi :
[1] Karena merasa tidak puas dengan konsep aliran tersebut dalam soal-soal seperti yang diatas. [2] Melihat perpecahan di kalangan kaum muslimin yang akan mengakibatkan lemahnya mereka, jika tidak segera diakhiri, al-Asy’ari sangat khawatir apabila al-Quran dan Hadits Nabi menjadi korban faham-faham Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan. Ketidakbenaran itu karena didasarkan atas pemujaan akal, sebagaimana juga akan menjadi korban sikap ahl al-Hadits (antropomorpis/al-hasywiyah) yang hanya memegang lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwa dan hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan.
Faktor-faktor yang menguntungkan al-Asy’ari
Ada beberapa faktor yang menguntungkan al-Asy’ari, sehingga ia dapat mengalahkan aliran Mu’tazilah :
1. Kaum muslimin pada waktu itu sudah bosan menghadapi dan mendengar perbedaan serta pertentangan sekitar persoalan al-Quran khususnya yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah yang kemudian berakibat ketidak senangan mereka terhadap aliran tersebut.
2. Imam al-Asy’ari sendiri seorang yang ulung dalam perdebatan dan mempunyai ilmu yang dalam, terkenal pula seorang yang saleh dan taqwa, sehingga ia bisa menarik orang banyak serta mendapat kepercayaan dari mereka.
3. Sejak masa al-Mutawakkil (tahun 232 H), khalifah-khalifah telah meninggalkan aliran Mu’tazilah. Kecenderungan banyak orang ialah mengikuti pemerintahannya dan takut memeluk paham yang tidak disukai oleh penguasa. Oleh karenanya, mereka meninggalkan aliran tersebut dan lebih senang menggabungkan diri kepada golongan yang menentangnya.
4. Al-Asy’ari mempunyai pengikut yang cukup banyak, kuat dan mampu menyebarkan ajarannya. Karena kedudukan mereka yang besar di kalangan masyarakat, maka ketertarikan umat terhadap ajaran al-Asy’ari tidak dapat dibendung lagi.
5. Pemerintahan Bani Buwaihi yang bercorak Syi’ah dan menjadi tulang-punggung aliran Mu’tazilah telah digantikan oleh penguasa Saljuk Turki. Pemerintahan yang memiliki seorang menteri pandai, Nidzamul Mulk, adalah cenderung Sunni. Diantara usaha yang dilakukan ialah mendirikan sekolah dan mengumpulkan orang-orang pandai untuk mengajarkan ahl al-sunnah. Dengan demikian, gerakan Syi’ah dan aliran Mu’tazilah menjadi surut dengan sendirinya.
Pendapat-pendapat al-Asy’ari
Hampir setiap pendapatnya bercirikan pengambilan jalan tengah antara pendapat pihak-pihak yang berlawanan pada masanya, sebagaimana sebagian pendapatnya berikut ini :
1. Sifat
Pendapat al-Asy’ari dalam soal sifat terletak diantara aliran Mu’tazilah di satu pihak dan aliran Hasywiyah dan Mujassimah di pihak lain. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui tentang sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniyah (ke-Esaan). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiyah dan Mujassimah memepersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk.
al-Asy’ari dalam pada itu mengakui sifat-sifat Tuhan sesuai dengan zat Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita mendengar dan seterusnya.
1. Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat al-Asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariyah dan Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia irulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran Jabariyah, manusia tidak berkuasa mengadakan/menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) apapun, bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian-kemari menurut arah angin yang meniupnya.
al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
1. Melihat Tuhan pada hari kiamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian mereka menta’wil ayat-ayat yang menguraikan adanya “melihat“ (ru’yah). Mereka juga menolak hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal itu, karena tingkat hadits, menurut mereka, adalah Ahad (riwayat perseorangan). Menurut golongan Musyabbihah, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula.
Dengan menempuh jalan tengah antara kedua kelompok tersebut, al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula.
1. Dosa besar
Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa seseorang yang berbuat dosa besar dan tidak bertobat, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran Murji’ah mengatakan bahwa bagaimanapun besar dosa seseorang yang beriman tidak akan mempengaruhi imannya.
al-Asy’ari mengatakan bahwa seorang yang beriman dan tidak fasik, maka terserah Tuhan tentang pengampunan atau adzabnya.